A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Setiap muslim diwajibkan memberikan
sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam
Alquran.Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah
(pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat
Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak
tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan
zakat bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka
yang miskin.
Zakat adalah jenis harta tertentu
yang pemiliknya diwajibkan untuk memberikannya kepada orang-orang tertentu
dengan syarat-syarat tertentu juga. Setelah kita mempelajari pengertian zakat,
dasar hukumnya, macam-macam zakat diantaranya zakat fitrah dan zakat mal baik
itu zakat binatang ternak, hasilbumi, emas dan perak yang disertai dengan batas
nishob serta besarnya zakat yang harus dikelurakan (yang lebih dikhususkan pada
penjelasan zakat profesi). Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang
pengertian orang-orang yang berhak menerima zakat yang berjumlah 8 golongan
(fakir, miskin, amil, muallaf, riqob, ghorimin, fisabilillah, dan ibnu sabil).
B.
PEMBAHASAN
1.
Mustahiq
Zakat
Mustahik zakat
sering kali diartikan sebagai orang yang berhak menerima zakat.
Zakat tidak
boleh diserahkan kecuali kepada orang-orang yang telah ditentukan Allah dalam
kitab-Nya. Dalam Al-Quran
Surah At-Taubah:60 disebutkan bahwasannya terdapat ketentuan tentang golongan
yang berhak menerima zakat ada 8 golongan, diantaranya yaitu fakir, miskin,
amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnussabil. Mazhab
Syafi’i[1]mengatakan,
“zakat wajib dikeluarkan kepada delapan kelompok manusia, baik itu zakat
fitrah maupun zakat mal.” Berdasarkan Q.S At-Taubah:60
إِنَّمَاالصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَاوَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِيسَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُعَلِيمٌ حَكِي
Artinya: “sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah.
Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”[2]
Orang-orang
yang disebutkan di dalam ayat di atas adalah orang-orang yang berhak menerima
zakat dan dijadikan Allah sebagai tempat penyerahan zakat. Ketentuan
tersebut juga sudah menjadi ijma’ umat islam bahwa tidak boleh menyerahkan
sedikitpun dari harta zakat kepada selain orang-orang di atas. Mazhab syafi’I
mengatakan, “zakat wajib dikeluarkan kepada delapan kelompok manusia, baik itu
zakat fitrah maupun zakat mal.
Abu Dawud dan
yang lainnya meriwayatkan dari Ziyad bin Harits r.a. bahwa Rasulullah bersabda: Artinya:
“sesungguhnya Allah tidak ridha dengan keputusan seorang nabi atau yang
lainnya dalam urusan sedekah, sehingga dia memutuskan sendiri atasnya dan
membaginya menjadi delapan bagian.”
Rasulullah
bersabda kepada peminta-minta: Artinya:
“seandainya engkau termasuk dari bagian
itu, pasti aku akan memberimu.”
Ketika
orang-orang munafik membantah Nabi Saw. dalam
pembagian sedekah, maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membaginya,
menjelaskan hukumnya serta mengaturnya. Dia tidak menyerahkan pembagiannya
kepada orang lain. Syekhul Ialam Ibnu Taimiyyah berkata, “zakat wajib
diserahkan kepada delapan golongan tersebut apabila semuanya ada. Apabila
hanya ada sebagian, maka dibayarkan kepada golongan yang ada, juga dikirimkan
ketempat yang di dalamnya terdapat golongan-golongan tersebut. Ia
juga berkata “hendaknya zakat hanya diserahkan kepada orang yang menggunakannya
untuk ketaatan kepada Allah. Karena Allah mewajibkannya adalah sebagai bantuan
bagi orang-orang mukmin yang membutuhkannya untuk menunaikan ketaatan
kepada-Nya atau orang-orang yang membantu mereka untuk menunaikan ketaatan
tersebut. Maka
orang-orang yang membutuhkan zakat namun tidak menunaikan shalat, maka ia tidak
boleh diberi darinya, sampai ia bertaubat dan selalu menunaikan shalat.”
Orang-orang
yang berhak menerima zakat antara lain:
a.
Orang-orang
fakir
Al-Fuqara’ adalah bentuk jamak dari kata al-faqir. Al-Faqir
menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda
dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Orang-orang
fakir lebih membutuhkan zakat dari pada orang-orang miskin. Karena
Allah memulai ayat di atas dengan golongan ini, dan dia memulai dari yang
paling penting, kemudian yang penting dan seterusnya.
Orang-orang fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai sesuatu
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan mereka tidak mampu berusaha. Mereka
adalah orang-orang yang mempunyai sedikit harta untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Jika mereka
tidak memiliki apa-apa, maka diberi bagian dari zakat yang dapat memenuhi
kebutuhan mereka. Jika mereka
memiliki sedikit harta, maka diberi bagian dari zakat yang dapat menutupi
kekurangannya. Zakat yang
diberikan kepada mereka tersebut adalah kebutuhan selama satu tahun.[3]
b.
Orang-orang
miskin
Orang-orang miskin kondisinya lebih baik dari orang-orang fakir. Orang
miskin adalah orang yang mempunyai harta yang hanya cukup untuk memenuhi
setengah atau lebih dari kebutuhan mereka. Mereka
diberi bagian dari zakat yang dapat menutupi kekurangan dalam memenuhi
kebutuhan mereka selama satu tahun.[4]
c.
Para
‘amil zakat
Mereka adalah para petugas yang ditunjuk oleh pemimpin kaum
muslimin untuk mengumpulkan zakat dari para pembayarnya, menjaganya, dan
membaginya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
menerima bagian dari zakat sesuai dengan upah bagi kerja mereka. Akan
tetapi, jika pemimpin kaum muslimin telah menetapkan gaji untuk mereka dari
Baitul Maal, maka mereka tidak boleh diberi bagian dari harta zakat. Namun
sangat disayangkan, di zaman ini para ‘amil di samping menerima gaji dari
pemerintah, mereka juga mengambil bagian dari zakat sebagai upah bagi kerja
mereka dalam mengambil dan membagi zakat. Sesungguhnya
di haramkan
bagi para ‘amil yang telah mengambil gaji dari pemerintah untuk mengambil
bagian dari zakat sebagai upah bagi kerja mereka, karena mereka telah menerima
upah untuk kerja mereka.
d.
Orang-orang
muallaf
Muallaf berasal dari kata ta’liif yang berarti menyatukan hati.
Orang-orang muallaf ada dua macam, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang
muslim. Orang kafir diberi bagian dari zakat apabila dengannya, karena ia akan masuk islam. Jadi, pemberian zakat kepadanya adalah untuk
menguatkan niat dan keinginannya dalam masuk islam. Apabila diberi bagian dari
zakat, maka ia akan menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin atau orang
lain.
Adapun muallaf muslim maka diberi bagian dari zakat untuk
menguatkan imannya atau untuk menarik temannya agar masuk islam. Di samping
tujuan-tujuan baik lainnya yang bermanfaat bagi orang-orang muslim. Pembagian
zakat untuk membujuk hati ini hanya dilakukan ketika dibutuhkan. Karena Umar
r.a. Utsman r.a. dan Ali r.a. tidak melakukannya disebabkan tidak adanya
keperluan untuk melakukannya.[5]
e.
Ar-Riqaab
Ar-riqaab adalah para budak yang ingin memerdekakan diri namun
tidak memiliki uang tebusan untuk membayarnya. Maka
mereka diberi zakat sesuai dengan jumlah yang mereka butuhkan untuk menebus dan
memerdekakan diri. Dibolehkan juga bagi seorang muslim untuk menggunakan harta
yang wajib ia keluarkan untuk membeli seorang budak kemudian memerdekakannya.
Juga dibolehkan menggunakannya untuk menebus seorang tawanan muslim, karena itu
berarti ia telah membebaskan seorang muslim dari tawanan musuh.
f.
Al-Ghaarim
Al-ghaarim adalah orang yang menanggung utang. Orang yang
menanggung utang ada dua macam yaitu:
1)
Orang
yang menanggung utang orang lain. Yaitu orang yang menanggung utang untuk
memperbaiki perselisihan. Misalnya jika terjadi persengketaan antara dua
kabilah atau dua desa karena darah atau harta, sehingga mengakibatkan
pertikaian dan permusuhan diantara mereka. Maka orang tersebut berusaha
mendamaikan mereka dengan menyanggupi untuk membayar harta sebagai ganti dari
yang dipersengketakan. Ia melakukan hal tersebut untuk memadamkan pertikaian.
Dengan demikian, ia telah melakukan kebajikan.
Maka disyariatkan untuk meringankan bebannya dengan zakat, agar
hartanya tidak habis atau tidak rusak karena beban yang ia tanggung. Selain
itu, agar hal tersebut menjadi motivasi bagi dirinya dan bagi orang lain untuk
melakukan perbuatan yang mulia seperti ini, yang dapat memadamkan api fitnah
dan menghilangkan kerusakan. Bahkan syara’ membolehkan orang tersebut untuk
meminta bantuan demi mewujudkan tujuan ini. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan
dari Qabishah r.a. bahwa ia berkata kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, saya
menanggung beban utang.” Lalu Rasulullah menjawab: Artinya:
“tetaplah di sini hingga ada sedekah yang datang kepada kami, maka kami akan
memberikannya kepadamu.”
2)
Orang
yang menanggung utang untuk dirinya sendiri. Seperti seseorang yang ditawan oleh
orang-orang kafir yang hendak menebus dirinya, atau orang yang mempunyai utang
dan tidak mampu membayarnya. Maka kedua orang ini diberi bagian dari harta zakat
untuk menutupi utang mereka.[6]
g.
Fii
Sabiilillaah
Orang yang berada di jalan Allah adalah sukarelawan yang pergi
berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji dari Baitul Maal. Maka ia
diberi bagian dari harta zakat. Kata fii sabiilillaah “di jalan Allah” apabila
tidak dibatasi dengan kata lain maka yang dimaksud adalah perang di jalan Allah.
Allah berfirman dalam Q.S. Ash-Shaff:4 yang artinya “sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya.” Dan dalam Q.S.
Al-Baqarah:244 yang artinya “dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah.”
Menurut jumhur ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah
diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka
itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu adalah untuk
kepentingan orang banyak. Lain
dengan orang-orang yang digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian
zakat sebab mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala
kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu.[7]
h.
Ibnus
Sabiil (orang dalam perjalanan)
Ibnus sabiil adalah musafir yang telantar dalam perjalanannya,
karena bekal yang ia miliki telah habis atau hilang. Sabiil artinya jalan, maka
orang yang berada dalam perjalanan dinamakan ibnus sabiil. Ibnus sabiil diberi
bagian dari zakat sejumlah biaya yang ia butuhkan untuk sampai ke tempat
tinggalnya. Apabila ia berada dalam perjalanan menuju sebuah negeri, maka ia
diberi bagian dari zakat yang dapat mengantarkannya sampai ke negeri tersebut
dan dapat mengantarkannya pulang ke negeri asalnya. Yang termasuk kategori
ibnus sabil adalah tamu yang datang di suatu tempat, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Abbas r.a. dan beberapa ulama lainnya.[8]
Apabila ada sisa dari zakat yang diperoleh ibnus sabiil, orang yang
berperang, orang yang berutang, atau budak yang ingin menebus dirinya, maka
mereka wajib mengembalikannya. Hal
ini disebabkan karena mereka tidak memiliki secara mutlak harta zakat yang
mereka dapatkan. Tetapi mereka
memilikinya berdasarkan kebutuhan dank karena adanya sebab yang membuat mereka memperolehnya. Jadi,
apabila sebab itu hilang, maka hak mereka untuk mendapatkan bagian dari zakat
tersebut juga hilang.[9]
Jika delapan golongan atau kelompok tersebut dalam Q.S At-Taubah:60
itu dikelompokkan lagi, maka akan terdapat tiga hak dalam zakat. Hak-hak itu
adalah sebagai berikut:
a.
Hak
fakir-miskin
Hak fakir-miskin merupakan hak yang esensial dalam zakat karena
Tuhan telah menegaskan bahwa dalam harta kekayaan dan pendapatan seseorang ada
hak orang-orang miskin, baik yang meminta-minta atau yang diam-diam saja.
b.
Hak
masyarakat
Hak masyarakat juga terdapat dalam zakat, karena harta kekayaan
yang diperoleh seseorang sesungguhnya berasal dari masyarakat juga, terutama
kekayaan yang diperoleh melalui perdagangan dan badan-badan usaha. Hak
masyarakat itu harus dikembalikan kepada masyarakat terutama melalui saluran
sabilillah.
c.
Hak
Allah
Karena sesungguhnya harta kekayaan seseorang itu adalah hak mutlak
milik Allah, yang diberikan kepada seseorang untuk dinikmati, dimanfaatkan dan
diurus sebaik-baiknya. Menyebutkan
zakat sebagai hak Allah adalah mendudukkan zakat sebagai ibadah khassah
(ibadah khusus) yang harus dilaksanakan dengan ikhlas dalam rangka melaksanakan
perintah Allah.[10]
Penjabaran rumusan kedelapan rumusan tersebut dilakukan oleh
manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad dalam berbagai aliran hukum
islam. Oleh karena itu, kadangkala rumusannya berbeda. Misalnya
saja empat imam mazhab yang sepakat tentang bolehnya menyerahkan zakat kepada
salah satu golongan dari kedelapan golongan yang disebutkan dalam Al-Quran.
Namun menurut Syafi’i: wajib
diserahkan kepada delapan golongan jika zakat tersebut dibagikan oleh imam
(kepala negara) dan terdapat petugas pengumpul zakat. Jika tidak ada petugas
pengumpul zakat maka zakat tersebut dibagikan kepada tujuh golongan
saja. Sedangkan jika
tidak ada sebagian golongan maka zakat tersebut diberikan kepada golongan yang
ada. Demikian juga,
orang yang memberi zakat wajib membagikannya kepada semua golongan jika ada
golongan-golongan tersebut disekitar tempat tinggalnya dan harta yang dibagikan
itu mencukupi. Akan tetapi
jika tidak mencukupi, maka zakat tersebut wajib diberikan kepada tiga golongan,
dan jika ketiga golongan tersebut tidak ada di sekitar tempat tinggalnya maka
diberikan golongan yang ada saja. Delapan golongan (fakir, miskin, Amil, Muallaf
Qulubuhum/orang yang ditundukkan hatinya, Riqab, Gharim, Fisabilillah,
Ibn Sabil.
2.
Syarat-Syarat Mustahiqq Zakat dan
Sifat-Sifatnya[11]
a. Faqir, kecuali panitia zakat karena tetap
diberi bagian zakat meskipun orang kaya
b. Penerima zakat harus muslim
c. Penerima zakat bukan berasal dari keturunan
bani hasyim
d. Penerima zakat bukan orang yang lazim diberi
nafkah
e. Penerima zakat harus baliq, akil, dan merdeka
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Mustahik zakat adalah seseorang yang berhak menerima zakat
sesuai ketentuan Allah. Zakat harus diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (8 ashnaf) yaitu Fakir, Miskin, amil (pengurus zakat), Muallaf Riqab (pembebasan
budak), Gharim (orang yang
berhutang), Fii Sabililah
yaitu usaha dan kegiatan perorangan atau
badan yang bertujuan untuk menegakan syari’ar islam dan kepentingan agama atau
kemaslahatan umat, dan Ibnusabil ialah orang yang berpergian tidak untuk
bermaksiat, tetapi demi kemaslahatan umum dan kehabisan bekal di perjalanan.
Syarat mustahiqq zakat yaitu Faqir, muslim, bukan berasal dari keturunan
bani hasyim, bukan orang yang lazim diberi nafkah, dan Penerima zakat harus
baliq, akil, dan merdeka
[1]Al-Muhadzdzab, I,
hlm.170-172; Hasyiyah al-Bajuri, I, hlm.291-294; Mughni al-Muhtaj, III, hlm.
106-112.
[2]Abdul
Hamid,Fikih zakat, LP2 STAIN, Curup,
2012, hlm 69
[5]Nayl al-Awthar, IV,
hlm. 166
[6] Abu Dawud, Ibn Majah,
dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.
[7]Al-Kitab ma’a
al-lubab, I, hlm.155; al-Syarh al-Kabir, I, hlm.495; Bidayah al-Mujtahid, I,
hlm. 269
[8]Bidayah al-Mujtahid,
I, hlm. 268
[9]Al-Majmu’, VI, hlm.
214
[11] Wahbah Al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai
Mazhab, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,
2008), hlm. 294.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar