Senin, 06 Juni 2016

FIQIH ZAKAT (MUSTAHIQ ZAKAT) kelompok 5 kayaknyaaa...



A.      PENDAHULUAN

1.         Latar Belakang
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran.Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan zakat bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.
Zakat adalah jenis harta tertentu yang pemiliknya diwajibkan untuk memberikannya kepada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu juga. Setelah kita mempelajari pengertian zakat, dasar hukumnya, macam-macam zakat diantaranya zakat fitrah dan zakat mal baik itu zakat binatang ternak, hasilbumi, emas dan perak yang disertai dengan batas nishob serta besarnya zakat yang harus dikelurakan (yang lebih dikhususkan pada penjelasan zakat profesi). Dalam makalah ini kami akan sedikit menjelaskan tentang pengertian orang-orang yang berhak menerima zakat yang berjumlah 8 golongan (fakir, miskin, amil, muallaf, riqob, ghorimin, fisabilillah, dan ibnu sabil).







B.       PEMBAHASAN

1.         Mustahiq Zakat
Mustahik zakat sering kali diartikan sebagai orang yang berhak menerima zakat.
Zakat tidak boleh diserahkan kecuali kepada orang-orang yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya. Dalam Al-Quran Surah At-Taubah:60 disebutkan bahwasannya terdapat ketentuan tentang golongan yang berhak menerima zakat ada 8 golongan, diantaranya yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnussabil. Mazhab Syafi’i[1]mengatakan, “zakat wajib dikeluarkan kepada delapan kelompok manusia, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal.” Berdasarkan Q.S At-Taubah:60
إِنَّمَاالصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَاوَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِيسَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُعَلِيمٌ حَكِي
Artinya: “sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”[2]
Orang-orang yang disebutkan di dalam ayat di atas adalah orang-orang yang berhak menerima zakat dan dijadikan Allah sebagai tempat penyerahan zakat. Ketentuan tersebut juga sudah menjadi ijma’ umat islam bahwa tidak boleh menyerahkan sedikitpun dari harta zakat kepada selain orang-orang di atas. Mazhab syafi’I mengatakan, “zakat wajib dikeluarkan kepada delapan kelompok manusia, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal.
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Ziyad bin Harits r.a. bahwa Rasulullah bersabda: Artinya: “sesungguhnya Allah tidak ridha dengan keputusan seorang nabi atau yang lainnya dalam urusan sedekah, sehingga dia memutuskan sendiri atasnya dan membaginya menjadi delapan bagian.”
Rasulullah bersabda kepada peminta-minta: Artinya: “seandainya engkau termasuk dari bagian itu, pasti aku akan memberimu.”
Ketika orang-orang munafik membantah Nabi Saw. dalam pembagian sedekah, maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membaginya, menjelaskan hukumnya serta mengaturnya. Dia tidak menyerahkan pembagiannya kepada orang lain. Syekhul Ialam Ibnu Taimiyyah berkata, “zakat wajib diserahkan kepada delapan golongan tersebut apabila semuanya ada. Apabila hanya ada sebagian, maka dibayarkan kepada golongan yang ada, juga dikirimkan ketempat yang di dalamnya terdapat golongan-golongan tersebut. Ia juga berkata “hendaknya zakat hanya diserahkan kepada orang yang menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah. Karena Allah mewajibkannya adalah sebagai bantuan bagi orang-orang mukmin yang membutuhkannya untuk menunaikan ketaatan kepada-Nya atau orang-orang yang membantu mereka untuk menunaikan ketaatan tersebut. Maka orang-orang yang membutuhkan zakat namun tidak menunaikan shalat, maka ia tidak boleh diberi darinya, sampai ia bertaubat dan selalu menunaikan shalat.”
Orang-orang yang berhak menerima zakat antara lain:
a.         Orang-orang fakir
Al-Fuqara’ adalah bentuk jamak dari kata al-faqir. Al-Faqir menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Orang-orang fakir lebih membutuhkan zakat dari pada orang-orang miskin. Karena Allah memulai ayat di atas dengan golongan ini, dan dia memulai dari yang paling penting, kemudian yang penting dan seterusnya.
Orang-orang fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka dan mereka tidak mampu berusaha. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai sedikit harta untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika mereka tidak memiliki apa-apa, maka diberi bagian dari zakat yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Jika mereka memiliki sedikit harta, maka diberi bagian dari zakat yang dapat menutupi kekurangannya. Zakat yang diberikan kepada mereka tersebut adalah kebutuhan selama satu tahun.[3]

b.         Orang-orang miskin
Orang-orang miskin kondisinya lebih baik dari orang-orang fakir. Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta yang hanya cukup untuk memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhan mereka. Mereka diberi bagian dari zakat yang dapat menutupi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan mereka selama satu tahun.[4]

c.         Para ‘amil zakat
Mereka adalah para petugas yang ditunjuk oleh pemimpin kaum muslimin untuk mengumpulkan zakat dari para pembayarnya, menjaganya, dan membaginya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka menerima bagian dari zakat sesuai dengan upah bagi kerja mereka. Akan tetapi, jika pemimpin kaum muslimin telah menetapkan gaji untuk mereka dari Baitul Maal, maka mereka tidak boleh diberi bagian dari harta zakat. Namun sangat disayangkan, di zaman ini para ‘amil di samping menerima gaji dari pemerintah, mereka juga mengambil bagian dari zakat sebagai upah bagi kerja mereka dalam mengambil dan membagi zakat. Sesungguhnya di haramkan bagi para ‘amil yang telah mengambil gaji dari pemerintah untuk mengambil bagian dari zakat sebagai upah bagi kerja mereka, karena mereka telah menerima upah untuk kerja mereka.

d.      Orang-orang muallaf
Muallaf berasal dari kata ta’liif yang berarti menyatukan hati. Orang-orang muallaf ada dua macam, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang muslim. Orang kafir diberi bagian dari zakat apabila dengannya, karena ia akan masuk islam. Jadi, pemberian zakat kepadanya adalah untuk menguatkan niat dan keinginannya dalam masuk islam. Apabila diberi bagian dari zakat, maka ia akan menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin atau orang lain.
Adapun muallaf muslim maka diberi bagian dari zakat untuk menguatkan imannya atau untuk menarik temannya agar masuk islam. Di samping tujuan-tujuan baik lainnya yang bermanfaat bagi orang-orang muslim. Pembagian zakat untuk membujuk hati ini hanya dilakukan ketika dibutuhkan. Karena Umar r.a. Utsman r.a. dan Ali r.a. tidak melakukannya disebabkan tidak adanya keperluan untuk melakukannya.[5]

e.       Ar-Riqaab
Ar-riqaab adalah para budak yang ingin memerdekakan diri namun tidak memiliki uang tebusan untuk membayarnya. Maka mereka diberi zakat sesuai dengan jumlah yang mereka butuhkan untuk menebus dan memerdekakan diri. Dibolehkan juga bagi seorang muslim untuk menggunakan harta yang wajib ia keluarkan untuk membeli seorang budak kemudian memerdekakannya. Juga dibolehkan menggunakannya untuk menebus seorang tawanan muslim, karena itu berarti ia telah membebaskan seorang muslim dari tawanan musuh.

f.       Al-Ghaarim
Al-ghaarim adalah orang yang menanggung utang. Orang yang menanggung utang ada dua macam yaitu:
1)        Orang yang menanggung utang orang lain. Yaitu orang yang menanggung utang untuk memperbaiki perselisihan. Misalnya jika terjadi persengketaan antara dua kabilah atau dua desa karena darah atau harta, sehingga mengakibatkan pertikaian dan permusuhan diantara mereka. Maka orang tersebut berusaha mendamaikan mereka dengan menyanggupi untuk membayar harta sebagai ganti dari yang dipersengketakan. Ia melakukan hal tersebut untuk memadamkan pertikaian. Dengan demikian, ia telah melakukan kebajikan.
Maka disyariatkan untuk meringankan bebannya dengan zakat, agar hartanya tidak habis atau tidak rusak karena beban yang ia tanggung. Selain itu, agar hal tersebut menjadi motivasi bagi dirinya dan bagi orang lain untuk melakukan perbuatan yang mulia seperti ini, yang dapat memadamkan api fitnah dan menghilangkan kerusakan. Bahkan syara’ membolehkan orang tersebut untuk meminta bantuan demi mewujudkan tujuan ini. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Qabishah r.a. bahwa ia berkata kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, saya menanggung beban utang.” Lalu Rasulullah menjawab: Artinya: “tetaplah di sini hingga ada sedekah yang datang kepada kami, maka kami akan memberikannya kepadamu.”
2)        Orang yang menanggung utang untuk dirinya sendiri. Seperti seseorang yang ditawan oleh orang-orang kafir yang hendak menebus dirinya, atau orang yang mempunyai utang dan tidak mampu membayarnya. Maka kedua orang ini diberi bagian dari harta zakat untuk menutupi utang mereka.[6]

g.         Fii Sabiilillaah
Orang yang berada di jalan Allah adalah sukarelawan yang pergi berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji dari Baitul Maal. Maka ia diberi bagian dari harta zakat. Kata fii sabiilillaah “di jalan Allah” apabila tidak dibatasi dengan kata lain maka yang dimaksud adalah perang di jalan Allah. Allah berfirman dalam Q.S. Ash-Shaff:4 yang artinya “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya.” Dan dalam Q.S. Al-Baqarah:244 yang artinya “dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah.”
Menurut jumhur ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Lain dengan orang-orang yang digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian zakat sebab mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu.[7]

h.      Ibnus Sabiil (orang dalam perjalanan)
Ibnus sabiil adalah musafir yang telantar dalam perjalanannya, karena bekal yang ia miliki telah habis atau hilang. Sabiil artinya jalan, maka orang yang berada dalam perjalanan dinamakan ibnus sabiil. Ibnus sabiil diberi bagian dari zakat sejumlah biaya yang ia butuhkan untuk sampai ke tempat tinggalnya. Apabila ia berada dalam perjalanan menuju sebuah negeri, maka ia diberi bagian dari zakat yang dapat mengantarkannya sampai ke negeri tersebut dan dapat mengantarkannya pulang ke negeri asalnya. Yang termasuk kategori ibnus sabil adalah tamu yang datang di suatu tempat, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. dan beberapa ulama lainnya.[8]
Apabila ada sisa dari zakat yang diperoleh ibnus sabiil, orang yang berperang, orang yang berutang, atau budak yang ingin menebus dirinya, maka mereka wajib mengembalikannya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki secara mutlak harta zakat yang mereka dapatkan. Tetapi mereka memilikinya berdasarkan kebutuhan dank karena adanya sebab yang membuat mereka memperolehnya. Jadi, apabila sebab itu hilang, maka hak mereka untuk mendapatkan bagian dari zakat tersebut juga hilang.[9]
Jika delapan golongan atau kelompok tersebut dalam Q.S At-Taubah:60 itu dikelompokkan lagi, maka akan terdapat tiga hak dalam zakat. Hak-hak itu adalah sebagai berikut:
a.         Hak fakir-miskin
Hak fakir-miskin merupakan hak yang esensial dalam zakat karena Tuhan telah menegaskan bahwa dalam harta kekayaan dan pendapatan seseorang ada hak orang-orang miskin, baik yang meminta-minta atau yang diam-diam  saja.
b.         Hak masyarakat
Hak masyarakat juga terdapat dalam zakat, karena harta kekayaan yang diperoleh seseorang sesungguhnya berasal dari masyarakat juga, terutama kekayaan yang diperoleh melalui perdagangan dan badan-badan usaha. Hak masyarakat itu harus dikembalikan kepada masyarakat terutama melalui saluran sabilillah.
c.         Hak Allah
Karena sesungguhnya harta kekayaan seseorang itu adalah hak mutlak milik Allah, yang diberikan kepada seseorang untuk dinikmati, dimanfaatkan dan diurus sebaik-baiknya. Menyebutkan zakat sebagai hak Allah adalah mendudukkan zakat sebagai ibadah khassah (ibadah khusus) yang harus dilaksanakan dengan ikhlas dalam rangka melaksanakan perintah Allah.[10]
Penjabaran rumusan kedelapan rumusan tersebut dilakukan oleh manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad dalam berbagai aliran hukum islam. Oleh karena itu, kadangkala rumusannya berbeda. Misalnya saja empat imam mazhab yang sepakat tentang bolehnya menyerahkan zakat kepada salah satu golongan dari kedelapan golongan yang disebutkan dalam Al-Quran. Namun menurut Syafi’i: wajib diserahkan kepada delapan golongan jika zakat tersebut dibagikan oleh imam (kepala negara) dan terdapat petugas pengumpul zakat. Jika tidak ada petugas pengumpul zakat maka zakat tersebut dibagikan kepada tujuh golongan saja. Sedangkan jika tidak ada sebagian golongan maka zakat tersebut diberikan kepada golongan yang ada. Demikian juga, orang yang memberi zakat wajib membagikannya kepada semua golongan jika ada golongan-golongan tersebut disekitar tempat tinggalnya dan harta yang dibagikan itu mencukupi. Akan tetapi jika tidak mencukupi, maka zakat tersebut wajib diberikan kepada tiga golongan, dan jika ketiga golongan tersebut tidak ada di sekitar tempat tinggalnya maka diberikan golongan yang ada saja. Delapan golongan (fakir, miskin, Amil, Muallaf Qulubuhum/orang yang ditundukkan hatinya, Riqab, Gharim, Fisabilillah, Ibn Sabil.










2.        Syarat-Syarat Mustahiqq Zakat dan Sifat-Sifatnya[11]
a.       Faqir, kecuali panitia zakat karena tetap diberi bagian zakat meskipun orang kaya
b.      Penerima zakat harus muslim
c.       Penerima zakat bukan berasal dari keturunan bani hasyim
d.      Penerima zakat bukan orang yang lazim diberi nafkah
e.       Penerima zakat harus baliq, akil, dan merdeka















C.      PENUTUP

1.    Kesimpulan
Mustahik zakat adalah seseorang yang berhak menerima zakat sesuai ketentuan Allah. Zakat harus diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (8 ashnaf) yaitu Fakir, Miskin, amil (pengurus zakat), Muallaf Riqab (pembebasan budak), Gharim (orang yang berhutang), Fii Sabililah yaitu usaha dan kegiatan perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakan syari’ar islam dan kepentingan agama atau kemaslahatan umat, dan Ibnusabil ialah orang yang berpergian tidak untuk bermaksiat, tetapi demi kemaslahatan umum dan kehabisan bekal di perjalanan.
Syarat mustahiqq zakat yaitu Faqir, muslim, bukan berasal dari keturunan bani hasyim, bukan orang yang lazim diberi nafkah, dan Penerima zakat harus baliq, akil, dan merdeka









[1]Al-Muhadzdzab, I, hlm.170-172; Hasyiyah al-Bajuri, I, hlm.291-294; Mughni al-Muhtaj, III, hlm. 106-112.
[2]Abdul Hamid,Fikih zakat, LP2 STAIN, Curup, 2012, hlm 69

[3]  Saleh Fauzan, fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 219-220.
[4] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia,1988), hlm. 310.

[5]Nayl al-Awthar, IV, hlm. 166
[6] Abu Dawud, Ibn Majah, dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.
[7]Al-Kitab ma’a al-lubab, I, hlm.155; al-Syarh al-Kabir, I, hlm.495; Bidayah al-Mujtahid, I, hlm. 269
[8]Bidayah al-Mujtahid, I, hlm. 268
[9]Al-Majmu’, VI, hlm. 214
[10] Yusuf al-Qardhawi, A.A. Basyir, 1975, hlm. 44-46.
[11] Wahbah Al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 294.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar